5 Sisi Perempuan di Film Pangku, Luka dan Kekuatan

goodside
4 Min Read

Film Pangku menjadi salah satu karya yang menghadirkan potret perempuan dari sudut pandang yang lebih manusiawi dan emosional. Disutradarai oleh Reza Rahadian, film ini menyelami kehidupan perempuan marjinal melalui kisah Sartika dan Bu Maya, dua generasi perempuan yang sama-sama ditempa oleh kerasnya hidup. Alih-alih menghakimi pilihan atau latar belakang para tokohnya, Pangku justru menunjukkan bagaimana kondisi sosial, stigma serta keterbatasan ekonomi membentuk perjalanan hidup mereka.

Dari sisi sebagai mama, perempuan pekerja, hingga individu yang menyimpan luka, film Pangku menampilkan lapisan-lapisan kompleks yang jarang dieksplorasi secara jujur. Berikut adalah deretan sisi lain perempuan di dalam film ini.

1. Gambaran kehidupan perempuan marjinal, tak objektivasi ‘kopi pangku’

Film Pangku ini menyoroti sosok Sartika (Claresta Taufan), perempuan dari lingkungan pinggiran Pantura yang mengadu nasib dengan merantau. Sartika saat itu pergi merantau dalam keadaan hamil. Bukan atas kemauannya, Sartika merantau mencoba peruntungan agar punya nasib yang lebih untuk menghidupi anaknya. Namun, ia mesti menjalani pekerjaan yang tidak diinginkan, di tengah lingkungan yang keras, jiwanya bahkan menolak.

Ini menunjukkan bagaimana perempuan marginal tidak hanya rentan, tetapi juga berani mengambil risiko demi masa depan.

2. Perjuangan seorang mama sebagai sumber kekuatan



Di tengah krisis ekonomi dan keterbatasan sosial, Sartika berjuang demi anaknya. Di film Pangku ini, Sartika menjadikan anak sebagai motivasi utama untuk bertahan hidup. Ini membuat Sartika tegar dan kuat, meski menjalani kehidupan berat yang tidak diinginkan. Keteguhan ini menjadi esensi kekuatan seorang mama yang rela menanggung beban besar demi masa depan anak.

3. Memperlihatkan kompleksitas perempuan melalui karakter Sartika dan Bu Maya



Selain Sartika, ada karakter Bu Maya (Christine Hakim). Berbeda dengan Sartika yang jiwanya masih merasa terkungkung, Bu Maya justru menunjukkan sisi perempuan yang telah ditempa kerasnya hidup. Pasalnya saat menolong Sartika, Bu Maya bukan semata bermurah hati. Ia juga punya dilema. Bu Maya memang kuat, tetapi kekuatan batinnya muncul dari pengalaman pahit selama ia hidup.

4. Menyajikan dilema antara kehormatan dan kebutuhan ekonomi



Dalam latar sosial ‘kopi pangku’, film Pangku mengangkat dilema moral ketika pilihan hidup sangat terbatas bagi perempuan seperti Sartika. Sejak awal ia tidak punya pilihan selain menjalani pekerjaan sebagai pelayan di warung Bu Maya. Namun, karena desakan hidup ia perlu berkompromi antara martabat dan kebutuhan ekonomi. Ini memperlihatkan bahwa perjuangan perempuan marjinal seperti Sartika bukan hanya fisik, tetapi juga batin.

5. Apakah pengorbanan adalah pembuktian cinta?



Tema pangku di film ini cukup kompleks dan intim membahas soal cinta. Namun, dari awal hingga akhir, cerita berpusat pada pergolakan batin Sartika dengan cinta dan jalan yang ditemuinya. Sosoknya sebagai mama di Pangku digambarkan bentuk pengorbanan yang paling murni. Reza Rahadian sebagai sutradara menyebut film ini sebagai “surat cinta untuk ibunya sendiri,” menekankan bahwa perjuangan mama adalah ekspresi cinta yang terkadang sunyi namun sangat mendalam.

Itulah tadi informasi mengenai beberapa sisi lain perempuan di film Pangku. Film Pangku memperlihatkan ke penonton tentang perempuan dari sudut yang lebih luas dan manusiawi.

Share This Article
Leave a Comment