Peringatan Hari Ayah: Ancaman Tanpa Ayah pada Perkembangan Emosional Anak

goodside
3 Min Read

Hari Ayah diperingati setiap tanggal 12 November. Google Doodle hari ini juga turut mengangkat tema peringatan Hari Ayah di Indonesia. Perayaan ini bukan hanya sekadar momen khusus, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya kehadiran sosok ayah dalam tumbuh kembang anak.

Ketidakhadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional, kini menjadi topik yang sering dibicarakan. Fenomena ini ternyata memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan psikologis dan emosional anak. Menurut Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahmat Hidayat, sekitar 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa peran ayah yang memadai.

Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak tidak tinggal bersama ayah, sedangkan 11,5 juta lainnya tinggal bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, meskipun ayah hadir secara fisik, mereka cenderung absen secara emosional. Hal ini dapat berdampak pada perkembangan anak, terutama dalam hal kepercayaan diri, nilai moral, dan kecerdasan emosi.

“Kehadiran ayah sangat penting dalam membentuk kepribadian anak. Ketidakhadiran ayah secara emosional bisa menyebabkan anak kesulitan dalam membentuk identitas diri dan merasa kurang percaya diri,” ujar Rahmat.

Peran Ayah dalam Tiga Proses Pembelajaran Anak

Rahmat menjelaskan bahwa ada tiga proses pembelajaran utama yang membutuhkan peran aktif ayah sebagai role model:

  • Pembelajaran Observasional

    Anak belajar melalui pengamatan perilaku orang lain sejak usia dini. Ketidakhadiran ayah secara emosional membuat anak kehilangan model perilaku utama dalam mengendalikan diri, disiplin, dan tanggung jawab.

  • Pembelajaran Behavioral

    Proses ini dilakukan melalui pembiasaan dan penguatan perilaku. Sosok ayah berperan sebagai otoritas dalam mengatur batasan, memberikan penghargaan saat anak berperilaku baik, serta memberikan koreksi saat anak melanggar.

  • Pembelajaran Kognitif

    Fokus pada interaksi verbal seperti percakapan dan nasihat. Ayah berperan sebagai pengarah berpikir, penalaran, dan nilai-nilai yang membantu anak memahami dunia sosial.

“Ketiganya membutuhkan figur yang komplit. Tidak adanya sosok ayah jelas menghilangkan satu model peran yang memperkaya proses belajar anak sehingga tumbuh kembangnya bisa jadi tidak komplit,” ujar Rahmat.

Peran Pemerintah dalam Mengatasi Fenomena Fatherless

Meskipun peran ayah dapat digantikan secara terbatas oleh figur lain seperti ibu, guru, atau keluarga besar, Rahmat menekankan perlunya intervensi sistematis dari pemerintah. Ia menyarankan agar pemerintah aktif dalam mengatasi fenomena fatherless melalui edukasi pendidikan pranikah yang lebih sistemik dan intensif.

Program ini harus memastikan calon pasangan benar-benar memahami nilai, tanggung jawab, dan peran yang akan diemban sebelum membangun keluarga, bukan hanya formalitas administratif.

Selain itu, Rahmat menyoroti pentingnya pemerataan lapangan pekerjaan di daerah-daerah luar Jawa. Ia menilai tingginya kasus fatherless tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada individu. Tekanan ekonomi dan kesempatan kerja yang timpang memaksa ayah memiliki mobilitas tinggi, yang pada akhirnya mengurangi interaksi emosional dengan anak.

 

Baca juga:

Share This Article
Leave a Comment