
Dua asosiasi besar dalam industri musik Indonesia, Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) dan Vibrasi Suara Indonesia (VISI), hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, pada Selasa (11/11), di Gedung Parlemen Senayan. Pertemuan ini menjadi momen penting bagi para pencipta lagu untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait revisi Undang-Undang Hak Cipta.
Dalam pertemuan ini, kedua belah pihak berkomitmen untuk membahas masalah royalti yang selama ini menjadi perdebatan panjang. Mereka juga memberikan masukan kepada pemerintah agar UU Hak Cipta dapat lebih efektif dalam melindungi hak cipta para komposer dan pelaku musik.
Perwakilan dari AKSI hadir dalam jumlah cukup banyak, antara lain Piyu Padi Reborn dan Ari Bias. Sementara itu, VISI diwakili oleh musisi ternama seperti Ariel NOAH dan Fadly Padi Reborn. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa isu royalti tidak hanya menjadi perhatian sepihak, tetapi juga melibatkan berbagai elemen dalam industri musik.

Piyu, Ketua Umum AKSI, menilai pertemuan ini sangat penting bagi perjuangan para pencipta lagu. Ia menyatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyampaikan pendapat, usulan, dan pemaparan kepada DPR mengenai bagaimana Undang-Undang Hak Cipta harus melindungi para komposer.
Menurutnya, saat ini implementasi UU Hak Cipta masih memiliki banyak kelemahan, sehingga merugikan para pencipta. Harapan utamanya adalah adanya kepastian hukum yang jelas untuk melindungi hak-hak para komposer.
Ari Bias menambahkan bahwa pertemuan ini merupakan kali pertama AKSI membahas substansi revisi UU Hak Cipta secara langsung. Ia menyatakan bahwa nantinya akan disampaikan rekomendasi dan usulan terbaik untuk ekosistem musik nasional, agar tidak lagi terjadi kesemrawutan seperti sebelumnya.
Di sisi lain, Ariel mewakili VISI menyampaikan harapan bahwa pertemuan ini dapat menghilangkan kesalahpahaman tentang royalti musik dan mempercepat lahirnya solusi yang adil.
“Kami berharap semua informasi yang dibagikan bisa saling melengkapi dan tidak ada miss. Yang paling penting, semoga keputusan yang diambil bisa cepat diterapkan,” ujarnya.
Ariel juga menegaskan posisi VISI yang siap patuh pada keputusan pemerintah sebagai penengah. Menurutnya, VISI hanya ingin pemerintah hadir untuk menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah.

Polemik hak cipta dan royalti musik di Indonesia telah berlangsung lama. Persoalan ini terus berkembang, terutama setelah muncul dua organisasi besar: AKSI dan VISI. AKSI didirikan pada Juli 2023 sebagai wadah untuk memperjuangkan hak para komposer, sedangkan VISI terbentuk pada Februari 2025 sebagai wadah bagi para penyanyi dan pelaku pertunjukan.
Akar permasalahan terletak pada perbedaan pandangan mengenai sistem pemungutan dan distribusi royalti, khususnya untuk hak pertunjukan (performing rights). AKSI mengusung sistem lisensi langsung (direct license), di mana komposer bisa menarik royalti langsung dari pengguna karya tanpa melalui perantara. Sementara itu, VISI lebih mendukung sistem satu pintu melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
VISI berargumen bahwa sistem terpusat ini memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi pengguna musik. Selain itu, VISI juga telah mengajukan uji materiil terhadap UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi guna memperjelas beberapa pasal yang dinilai multitafsir.
