Film Suka Duka Tawa karya sutradara Aco Tenriyagelli menawarkan pengalaman unik dalam menghadapi hubungan yang rumit. Berbeda dari film-film lain yang biasanya menyajikan air mata dan konflik, film ini justru memilih untuk menertawakan luka dan mencari makna cinta dalam bentuk paling sederhana. Dibintangi oleh Rachel Amanda, Marissa Anita, Teuku Rifnu Wikana, Enzy Storia, hingga Bintang Emon, film ini tidak hanya menyuguhkan tawa lewat panggung stand-up comedy, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang relasi manusia dan proses berdamai dengan diri sendiri.
1. Cerita tentang Hubungan Anak dan Ayah
Kisah utama dalam film ini diperankan oleh Tawa (Rachel Amanda), seorang komika perempuan yang sedang merintis karier di dunia stand-up comedy. Awalnya, ia tampil di open mic dengan materi biasa. Namun, ketika ia mulai memasukkan kisah pribadi dan trauma karena ditinggalkan oleh ayahnya, pertunjukan berubah.
Keberadaan Keset (Teuku Rifnu Wikana), ayah Tawa, menjadi bagian penting dalam kisah ini. Keset adalah pelawak yang harus memilih jalan hidupnya sendiri. Saat sang ayah kembali muncul dalam kehidupan Tawa, hubungan mereka yang renggang harus diuji.
Film ini bukan hanya tentang tawa, tapi juga tentang bagaimana seseorang menggunakan tawa untuk menyambung relasi yang pernah pecah.
2. Relasi Ayah dan Anak Perempuan

Salah satu fokus utama film ini adalah hubungan antara Tawa dan ayahnya, Keset. Sutradara Aco Tenriyagelli menyebut bahwa cerita ini sangat personal bagi dirinya. Ia selalu tertarik dengan relasi manusia, terutama antara orang tua dan anak.
Cerita ini berpusat pada keluarga Tawa. Tawa ditinggalkan ayahnya sejak kecil, dan saat ayahnya kembali, ia berusaha mengobati duka dan lukanya melalui komedi. Interaksi antara Tawa dan Keset membawa kita ke ruangan yang penuh kecanggungan, di mana sang ayah berkecimpung di dunia komedi televisi, sementara sang anak memilih stand-up comedy sebagai bentuk suara dirinya.
Aco menambahkan bahwa film ini menggambarkan keresahan tentang sulitnya komunikasi antara orang tua dan anak yang berbeda generasi. Kecanggungan antara anak dan orang tua adalah hal yang universal.
3. Sahabat sebagai Penopang Emosional

Di luar relasi keluarga, Suka Duka Tawa juga menampilkan bagaimana sahabat dan teman panggung bisa menjadi tempat manusiawi untuk kembali. Teman-teman Tawa hadir dalam adegan open mic, panggung, dan ruang privat, menjadi tempat di mana ia bisa gagal, tertawa, dan berproses.
Relasi ini menggambarkan bahwa ketika relasi utama seperti keluarga goyah, sahabat sering kali menjadi penopang. Film ini mengajak kita melihat bahwa dalam relasi, kehadiran yang sederhana bisa berarti sangat besar.
4. Menertawakan Luka dan Menerima Proses

Film yang diproduksi oleh BION Studios bersama Spasi Moving Image ini juga mengangkat tentang hubungan Tawa dengan diri sendiri. Hubungan dengan diri sendiri sering terlupakan, padahal dari sini semua relasi lain bermula. Ketika kita menerima diri, menghargai luka, dan kemudian memilih berdiri lagi, maka kita siap untuk berhubungan secara sehat dengan orang lain.
Aco berharap penonton bisa keluar dari bioskop lalu berani memikul dan menerima luka mereka sebagai proses bertumbuh dan terus kembali menjalani hidup dalam tawa.
5. Tawa sebagai Bahasa
Di panggung stand-up, Tawa menggunakan materi pribadi seperti trauma, ayah yang pergi, dan kesunyian. Film ini menyuguhkan relasi antara seorang performer dengan audiensnya. Hubungan ini berbicara soal identitas, bagaimana kita di mata orang banyak dan bagaimana kita memandang diri sendiri.
Bukan hanya soal tertawa bersama, tapi soal bagaimana tawa itu kemudian menjadi jembatan untuk mengenal, menerima, dan tersambung dengan orang lain yang punya luka atau cerita serupa.
Film Suka Duka Tawa akan menjadi film penutup JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) edisi ke-20 pada 6 Desember 2025 pukul 20:30 WIB di XXI Empire, Yogyakarta. Apakah kamu sudah siap untuk menonton?
