
#FutureSkillsGNFI
"Social enterpreneurs are not content just to give a fish, or teach how to fish. They will not."
Sepenggal kata tersebut merupakan kutipan dari Bill Dryton, bapak kewirausaaan sosial dunia yang bermakna bahwa social entreprenurship tidak hanya sekadar memberikan bantuan atas masalah sosial, tetapi menciptakan solusi berkelanjutan dari permasalahan sosial tersebut.
Banyak negara di belahan dunia yang memiliki permasalahan terkait sosial yang perlu segera mereka selesaikan, seperti kemiskinan, kesehatan, hingga pendidikan. Dalam kondisi tersebut, lahirlah suatu gagasan revolusioner dari para tokoh dunia untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada, yakni pandangan bahwa masalah sosial dapat terselesaikan dengan memberikan solusi dengan prinsip berkelanjutan. Gagasan tersebut adalah social enterprenurship atau kewirausahaan sosial.

Kewirausahaan Sosial
Kewirausahaan sosial sebagai bentuk dari pengusaha sosial yang didorong untuk menciptakan nilai terbaik untuk masyarakat. Konsep ini berkembang di berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia. Pengembangannya meluas di sejumlah bidang, mulai dari sektor non profit, profit, publik, dan kombinasi dari bentuk ketiganya.
Bill Dryton (CEO Ashoka Foundation) menjelaskan bahwa terdapat dua kunci dalam social enterpreneur. Pertama, terbentuknya suatu inovasi sosial yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Kedua, hadirnya individu yang memiliki visi, kreatif, berjiwa wirausaha (entrepreneurial) dan memiliki etika dari gagasan inovatif tersebut.
Gagasan tersebut kita kenal dengan social entreprenurship. Istilah ini berasal dari gabungan dari dua kata social yang bermakna masyarakat dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan.
Pemahaman mengenenai kewirausahaan sosial adalah suatu metode atau pendekatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan sosial melalui strategi bisnis. Lalu, orang atau sekelompok orang yang menjalankan suatu bisnis sosial disebut wirausaha sosial (social enterpreneur).
Kewirausahaan sosial menggunakan metode penerapan bisnis konvensional dan lembaga sosial. Bisnis konvensional melakukan jual beli barang atau jasa kepada konsumen untuk mendapat laba. Lembaga sosial menangani permasalahan sosial atas dasar kemanusiaan.
Sementara itu, bisnis sosial menggabungkan tujuan keduanya, yakni mencari keuntungan dengan menangani masalah sosial. Pada dasarnya, tidak semua bisnis yang melakukan kegiatan sosial dinamakan bisnis sosial.
Peran Social Entrepreneurship dalam Pembangunan Ekonomi
Kewirausahaan sosial berperan baik dari segi internal dan eksternal. Dari segi internal dapat mengurangi tingkat ketergantungan kepada orang lain, menciptakan rasa percaya diri, serta menciptkan daya tarik bagi pelakunya. Sedangkan dari segi eksternal, memberikan lapangan pekerjaan dan menciptkan peluang kerja.
Kewirausahaan sosial pun berperan membangun ekonomi karena mampu memberikan daya cipta nilai sosial maupun ekonomi, seperti menciptakan lapangan kerja baru di seluruh kalangan masyarakat, melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang maupun jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, serta modal sosial dan meningkatkan kesetaraan.
Solusi atas Masalah Sosial secara Mandiri dan Berkelanjutan
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” adalah bunyi pepatah yang mengisyaratkan bahwa manusia paling baik adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lainya.
Sejauh ini, pembahasan mengenai kewirausahaan sosial bertujuan melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar.
Hasil yang ingin dicapai bukan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan suatu gagasan itu memberikan dampak baik dan berkelanjutan bagi penerima manfaat.
Meskipun pandangan masyarakat luas menilai bahwa social enterprenurship adalah suatu kegiatan sosial semata, pada kenyataanya social entreprenurship adalah suatu bisnis yang berorientasi pada penyelesaian masalah sosial yang tak terlepas dari kaidah bisnis pada umumnya yang memerlukan alat ukur untuk menarik investor dalam mengembangkan bisnisnya tersebut.
Isu sustainability secara finansial selalu menjadi tantangan terbesar bagi pra-sosial entrepreneurship. Untuk mengatasinya, ada dua alternatif kemitraan yang dapat dikembangkan, yakni kemitraan dengan institusi publik dan korporasi.
Hendaknya, perihal social entrepreneurship harus menjadi perhatian bagi seluruh kalangan, tak terkecuali pemerintah, masyarakat, perusahaan, ataupun lembaga pendidikan, karena mampu menyerap tenaga kerja berkualitas yang tidak mendapat peluang di sektor formal mengingat adanya ketimpangan ekonomi dan keterbatasan pemerintah untuk mengatasi masalah sosial.
Inilah tantangan nyata bagi para akademisi dan praktisi dalam mencari jalan keluar atas masalah sosial yang ada di sekitar kita.
Referensi :
Dewi Meisari Haryati, D., Sri Rahayu Hijrah Hati, S., Astari Wirastuti, A., & Kumala Susanto, K. Berani Jadi Wirausaha Sosial. Jakarta PT Bank DBS Indonesia
Sartono, S., & Sutrismi, S. (2020). Kewirausahaan; Kewirausahaan Komersial dan Sosial. Jurnal BENEFIT, 7(2), 94-102.
Lindawati, L. (2019). “Kekuatan Cerita dalam Bisnis Sosial”. Jurnal Studi Pemuda, 7(2), 100-110.
Sofia, I. P. (2017). “Konstruksi Model Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship) sebagai gagasan inovasi sosial bagi pembangunan perekonomian”. WIDYAKALA: JOURNAL OF PEMBANGUNAN JAYA UNIVERSITY, 2(1), 2-23.
Jalal dan Zainal Abidin. “Belajar Bisnis Sosial Bagian Pertama dari Dua Tulisan”. https://ukmindonesia.id/baca-artikel/123 diakses September 23, 2021
Annisa Anastasya, “Social Entrepreneurship”.https://ukmindonesia.id/baca-artikel/378 diakses September 23, 2021