Penampilan yang Menggambarkan Budaya dalam Mode
Di bawah sinar lampu putih yang lembut di panggung Balai Kartini, Jakarta, Sry Nirwanti Bahasoan, Ketua Dekranasda Sulawesi Tengah, berjalan perlahan seolah membawa cerita dari timur Indonesia. Gaun muslim yang dikenakannya terbuat dari tenun bomba, bukan hanya pilihan mode tetapi juga pernyataan budaya yang disampaikan dengan percaya diri ke kancah fashion nasional.
Pada malam itu, Jakarta Muslim Fashion Week 2026 seakan berhenti sejenak ketika motif-motif Donggala muncul di runway. Tenun bomba, biasanya ditemukan dalam upacara adat atau disimpan rapi di lemari para perajin, kini menjadi siluet modern yang memadukan tradisi dengan arsitektur busana kontemporer.
Gaun yang dirancang oleh Febry Ferry Fabry (FFF), desainer asal Sulawesi Tengah yang dikenal tidak ragu menantang pakem, menampilkan keseimbangan yang jarang: lembut namun tegas, sederhana namun bernuansa kompleks. Motif geometris berulang pada kainnya dipadukan dengan potongan panjang yang mengalir, seakan meminjam gerak dari angin laut Teluk Palu.
Warna yang dipilih FFF bukan warna mencolok. Ia memilih palet bumi: merah bata yang hangat, coklat gelap yang tenang, dan guratan emas halus yang hanya tampak ketika terkena cahaya tertentu. Kombinasi ini membuat busana tersebut tidak hanya indah di pandangan pertama, tetapi terus mengungkap detail baru setiap kali dilihat dari sudut berbeda.
Pada bagian lengan, perancang menambahkan sentuhan struktural yang membuat gaun tampak anggun tanpa kehilangan sifat praktisnya. Lengan yang sedikit mengembang itu memberi kesan klasik, namun tetap selaras dengan garis modern yang menjadi ciri koleksi FFF beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, kerudung yang dikenakan Sry Nirwanti dibuat dari bahan satin tipis dengan warna senada. Tidak mengganggu dominasi tenun, kerudung itu dibiarkan menjuntai dengan sederhana, seolah sengaja memberi ruang bagi motif bomba agar menjadi pusat perhatian malam itu.
Di bagian pinggang, FFF menempatkan detail ikat lebar dari material tenun yang sama. Pilihan ini menciptakan fokus visual yang mempertegas struktur gaun tanpa membuatnya kaku. Dalam tradisi lokal, ikatan kain memiliki makna kedekatan dan persatuan. Pada gaun ini, simbol itu berubah menjadi detail mode yang fungsional sekaligus sarat nilai.
Para tamu yang duduk di barisan depan tampak memperhatikan tekstur kain dengan saksama. Tenun bomba dikenal tebal dan kokoh, tetapi FFF mengolahnya menjadi pakaian yang tampak ringan. Para pengamat mode menyebut teknik ini sebagai salah satu eksperimen kain tradisional yang paling berhasil dalam perhelatan tahun ini.
Ketika Sry Nirwanti memberikan pernyataannya sesudah peragaan, gaun tersebut tetap menjadi topik utama di ruang media. Ia menyebutnya sebagai “warisan yang berjalan”, sebuah frasa yang menghidupkan kembali gagasan bahwa budaya tidak hanya dirayakan di museum, tetapi juga di ruang-ruang modern yang terus berubah.
Para fotografer memotret detail demi detail gaun itu: tepian motif yang diselesaikan dengan tangan, sambungan halus antar panel kain, serta jahitan kecil yang mengikat semuanya dalam harmoni. Setiap sudut tampak memuat cerita tentang waktu, kesabaran, dan kearifan para penenun Donggala.
Pada akhirnya, kehadiran gaun tersebut di Jakarta Muslim Fashion Week bukan hanya merayakan keindahan visualnya. Ia menjadi pengingat bahwa wastra Indonesia masih memiliki ruang luas untuk berkembang, berevolusi, dan menemukan bentuk baru tanpa kehilangan akarnya.
Dan ketika panggung akhirnya gelap, gaun tenun bomba itu tetap meninggalkan jejak: sebuah bukti bahwa mode bisa menjadi jembatan yang memindahkan identitas dari tangan perajin ke cahaya spotlight, tanpa kehilangan makna yang dikandungnya.
