Museum Met New York Kembalikan Lukisan Buddha Berusia 227 Tahun

goodside
4 Min Read

Museum Seni Metropolitan atau The Metropolitan Museum of Art (The Met) di New York, Amerika Serikat, mengembalikan lukisan Buddha berusia 227 tahun ke sebuah kuil di Korea Selatan. Lukisan tersebut diyakini telah diambil saat berada di bawah kendali Angkatan Darat AS selama Perang Korea.

Lukisan yang berjudul The Tenth King of Hell (Raja Neraka Kesepuluh) merupakan salah satu dari sepuluh gulungan yang dipindahkan dari Kuil Sinheungsa di kota Sokcho, di timur laut Korea Selatan, sekitar 48 kilometer dari perbatasan Korea Utara. Pengembalian ini ditandai dengan sebuah upacara di Seoul setelah lebih dari tujuh dekade Perang Korea berakhir pada 1953.

Menurut siaran pers dari Museum Seni Metropolitan, pengembalian tersebut merupakan hasil investigasi yang dilakukan oleh museum, perwakilan dari kuil, dan Komite Sokcho untuk Pengembalian Warisan Budaya, sebuah kelompok aktivis Korea Selatan.

“Kami sangat gembira bahwa The Tenth King of Hell telah kembali ke rumah aslinya. Warisan budaya kami memiliki makna yang paling mendalam ketika berada di tempat yang semestinya,” kata Lee Sang-rae, ketua Komite Sokcho untuk Pengembalian Warisan Budaya.

Asal-usul Lukisan

Artnews.com menyebutkan bahwa museum tersebut mengaku membeli lukisan pada 2007. Menurut keterangan asal-usul di situs museum, Met membeli karya tersebut dari kolektor Robert Moore melalui sebuah perusahaan terbatas (LLC) yang terdaftar atas nama Michael C. Hughes. Ia kini menjabat sebagai kepala departemen seni Cina Bonhams. Bagaimana kolektor tersebut memperoleh lukisan tersebut tidak jelas. Met menyatakan telah memamerkan The Tenth King of Hell dalam presentasi koleksi seni Korea pada 2008 dan 2012.

Max Hollein, direktur dan kepala eksekutif Museum Seni Metropolitan, mengatakan dalam siaran pers tersebut bahwa museum merasa terhormat dapat bermitra dengan komite dan kuil untuk mengembalikan lukisan itu. “The Met memiliki sejarah panjang dalam bekerja sama dengan kolega dan institusi di Korea, dan kami berharap dapat melanjutkan upaya kolaboratif kami untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi dunia terhadap seni Korea,” ujarnya.

The Tenth King of Hell

Dalam tradisi Buddha, The Tenth King of Hell menghakimi orang yang telah meninggal untuk menentukan nasib mereka. Di tengah lukisan yang dikembalikan tersebut duduk Raja Kesepuluh, dikelilingi oleh para pelayan dan tokoh-tokoh lain dari dunia bawah. Orang mati, yang menerima hukuman atas pelanggaran mereka, mengisi bagian bawah karya tersebut.

Sebuah prasasti yang ditulis dalam hanja, aksara Tionghoa tradisional yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Korea, berbunyi “Raja Agung Kesepuluh dari Lima Jalan dan Hukum yang Benar, di neraka tergelap, dilukis pada tahun siklus muo. Siklus muo bertepatan dengan tahun 1798.

Pengembalian Karya Lainnya

Sebelumnya, enam panel Siwangdo dikembalikan ke Korea Selatan pada 2020 oleh Los Angeles County Museum of Art (LACMA), yang bekerja sama dengan Ordo Jogye. LACMA saat itu menyatakan bahwa karya-karya tersebut diyakini telah dijarah oleh personel Angkatan Darat Amerika Serikat selama Perang Korea.

Pengembalian The Tenth King of Hell menjadi bukti bahwa lembaga-lembaga seni internasional mulai lebih sadar akan pentingnya pengembalian warisan budaya yang hilang akibat konflik dan invasi. Proses ini juga menunjukkan kerja sama antara institusi seni, komunitas lokal, dan organisasi aktivis untuk memastikan bahwa karya seni kembali ke tempat asalnya.



Proses pengembalian ini tidak hanya menjadi langkah penting bagi museum, tetapi juga menjadi simbol kebangkitan kesadaran akan pentingnya warisan budaya. Dengan kembalinya karya-karya seperti The Tenth King of Hell, masyarakat dapat lebih memahami nilai-nilai spiritual dan estetika yang terkandung dalam seni tradisional.

Selain itu, pengembalian ini juga memberi contoh bagaimana lembaga seni dapat bekerja sama dengan pihak-pihak lokal untuk memastikan bahwa warisan budaya tidak lagi tersimpan di luar negeri tanpa kejelasan asal usul. Ini menjadi langkah penting dalam menjaga keberlanjutan dan keautentikan seni tradisional.

Share This Article
Leave a Comment