5 Fakta Ariel NOAH dan Piyu Padi Kompak di DPR, Berjuang untuk Keadilan Royalti Musik

goodside
5 Min Read

Polemik terkait royalti musik di Indonesia memasuki babak baru yang menarik perhatian. Dua organisasi musisi besar, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), akhirnya duduk satu meja dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025).

Kehadiran musisi ternama seperti Ariel NOAH, Armand Maulana, Fadly Padi, dan Vina Panduwinata dari kubu VISI, serta Piyu Padi Reborn dan Ari Bias dari AKSI, menunjukkan komitmen serius untuk mencari solusi dan memberikan masukan dalam revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Meski sebelumnya sempat berseberangan, kedua kubu kini menyuarakan semangat yang sama: menciptakan ekosistem musik nasional yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada pelaku seni.

Berikut rangkuman poin-poin utama yang dibahas dan disepakati dalam pertemuan tersebut:

1. Piyu: Momen Krusial AKSI untuk Perlindungan Pencipta Lagu

Perwakilan AKSI, Piyu (Padi Reborn), menegaskan bahwa RDPU ini merupakan momen penting bagi para pencipta lagu untuk memperjuangkan hak mereka di hadapan legislator. Menurutnya, tujuan utama AKSI adalah memperkuat perlindungan hukum bagi pencipta lagu dan mendorong perbaikan sistem agar industri musik menjadi lebih sehat.

“Hari ini adalah salah satu momen paling krusial dalam perjuangan AKSI,” ujar Piyu. Ia menyoroti lemahnya implementasi aturan hak cipta yang ada. “Banyak implementasi yang salah sasaran. Akibatnya, banyak pencipta lagu belum sejahtera dan belum mendapatkan keadilan.”

Piyu menegaskan bahwa perjuangan AKSI murni untuk kepentingan para pencipta lagu, bukan individu. “AKSI berjuang untuk para pencipta lagu, karena ini amanat Undang-Undang Hak Cipta dan UUD 1945,” tegasnya.

2. Ariel NOAH: Bela Hak Penyanyi dari Ketidakpastian Hukum

Dari pihak VISI, Ariel NOAH menegaskan bahwa perjuangan organisasinya adalah untuk melindungi hak para penyanyi yang kerap menghadapi ketidakpastian hukum. “Kalau dari VISI, kami mewakili penyanyi. Walaupun saya juga pencipta lagu, tapi kami di sini sedang membela haknya penyanyi,” ujar Ariel.

Ia mengungkap bahwa masih ada penyanyi legendaris yang disomasi karena menyanyikan lagu yang justru melekat dengan karier mereka. “Dua minggu lalu ada penyanyi legendaris disomasi karena nyanyiin lagu sendiri. Ini yang kami perjuangkan, terutama bagi penyanyi di daerah yang tidak punya perlindungan,” ujarnya.

Ariel menyambut positif sikap AKSI yang menegaskan bahwa penyanyi tidak wajib membayar royalti saat tampil di atas panggung. “Kami senang karena dari AKSI sudah ada pernyataan bahwa bukan penyanyi yang harus membayar ketika menyanyikan lagu. Ini langkah maju,” katanya.

3. AKSI dan VISI Kompak Dorong Digitalisasi Sistem Royalti

Kedua organisasi sepakat untuk mendorong digitalisasi sistem royalti musik agar lebih transparan dan akuntabel. Piyu menilai, sistem yang berjalan selama ini masih terlalu manual dan tidak efisien. “Selama ini LMK dan LMKN belum digital, masih manual dan harus datang langsung ke tempat acara. Ini yang perlu diubah,” ujarnya.

Ia mengusulkan agar setiap pertunjukan musik wajib memiliki lisensi melalui sistem digital. “Pertunjukan musik sebaiknya punya izin terlebih dahulu, dan mekanismenya diatur dalam pasal khusus,” tambah Piyu.

Ariel menilai pembenahan LMK dan LMKN menjadi kunci utama transparansi. “Kita sama-sama ingin digitalisasi. LMK dan LMKN harus diperbaiki agar siapa yang menerima royalti dan jumlahnya bisa terlihat jelas,” tutur Ariel.

4. Royalti Performance Right Jadi Tanggung Jawab Penyelenggara

Kesepahaman penting lainnya adalah bahwa penyelenggara acara, bukan penyanyi, yang wajib membayar royalti performance right. “Kami senang karena ada pernyataan langsung dari AKSI bahwa bukan penyanyi yang harus bayar royalti untuk performance rights,” ujar Ariel.

Piyu membenarkan hal itu dan menegaskan kesepakatan tersebut sejalan dengan Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025. “Kita sepakat, memang dari dulu seperti itu. Tapi karena kurangnya transparansi dari penyelenggara ke LMK, pencipta jadi seolah tak boleh menagih. Itu yang perlu diperbaiki,” kata Piyu.

Dengan kesepakatan ini, para penyanyi kini bisa bernapas lega. Diharapkan tidak ada lagi kasus somasi terhadap penyanyi yang hanya membawakan lagu di atas panggung.

5. Masa Transisi dan Harapan Baru untuk LMKN

Anggota AKSI, Ari Bias, menjelaskan bahwa industri musik saat ini sedang memasuki masa transisi seiring moratorium dari Kementerian Hukum dan HAM. Menurutnya, LMK sedang dalam proses penertiban, sementara LMKN tengah menyiapkan platform digital untuk mempermudah pendaftaran dan pembayaran royalti secara terpusat.

“LMKN sudah menyiapkan platform digital untuk pendaftaran lisensi dan pembayaran royalti pertunjukan musik,” ujar Ari Bias. Ia berharap sistem baru ini dapat berjalan optimal. “Kita lihat nanti hasilnya seperti apa. Saya masih memantau apakah kinerjanya akan benar-benar efektif,” katanya.

Baca juga:

Share This Article
Leave a Comment