Mengapa 1990—2000an Dianggap Masa Puncak Musik?

goodside
4 Min Read

Banyak orang sering mengeluhkan kualitas musik masa kini dan berpendapat bahwa tahun 1990-an hingga awal 2000-an adalah era terbaik. Tidak hanya dari satu atau dua orang, keluhan ini cukup umum hingga membuat kita penasaran apakah klaim tersebut benar-benar akurat. Benarkah dua dekade itu merupakan masa-masa terakhir sebelum musik menjadi menjemukan? Atau justru ini hanya ilusi belaka? Mari kita telisik lebih dalam.

Keragaman Genre dan Ketidakterdugaan Tren

Tidak bisa dimungkiri bahwa tahun 1990—2000-an adalah era yang penuh keberagaman. Berbagai genre baru muncul pada masa itu, termasuk grunge dan electronic dance music (EDM). Dua genre ini begitu populer hingga menciptakan subkultur baru di kalangan anak muda. Pada masa itu juga, banyak musisi yang tidak ragu melakukan praktik genre bending, yaitu memadukan beberapa genre sekaligus. Contohnya seperti Gorillaz, Linkin Park, The Red Hot Chili Peppers, sampai Crazy Town dan boy group Five.

Pada era tersebut, muncul pula berbagai grup musik dan solois pop yang mengubah industri musik selamanya. Nama-nama seperti Britney Spears, Mariah Carey, Backstreet Boys, NSYNC’, Sugababes, Westlife, dan Spice Girls menjadi ikon yang tak terlupakan. Skena hip hop dan rap juga berkembang pesat dengan kemunculan sosok-sosok ikonik seperti Tupac Shakur, Missy Elliot, 50 Cent, dan Eminem. Musisi-musisi dari era 90-an ini layak disebut sebagai trendsetter karena memperkenalkan sesuatu yang benar-benar baru dan segar, berbeda jauh dengan musik dari tahun 1960—1980-an.

Kita Tidak Menghargai Musik Layaknya Masa Lalu



Pada masa itu, kita tidak memiliki banyak pilihan untuk memilih lagu. Tren musik berkembang melalui televisi dan radio sebagai distributor utama. Keterbatasan opsi ini, baik sadar maupun tidak, membuat kita lebih menghargai musik. Di sinilah faktor psikologis ikut berperan. Pada era itu, kita tidak bisa mengandalkan internet untuk mendengar lagu favorit. Untuk mengaksesnya, kamu harus membeli rilisan fisik seperti kaset, CD, atau vinil, atau mengajukan permintaan ke stasiun radio agar diputar.

Singkatnya, kamu perlu usaha lebih besar untuk bisa mengakses musik kesukaan, dan hal ini membuat mendengarkan musik pada masa itu terasa spesial serta memiliki kesan berbeda. Sejak disrupsi digital, musik mengalami perubahan posisi. Ia lebih sering didengar sebagai hiburan sampingan belaka. Musik kini sering didengar sambil mengerjakan hal lain seperti bekerja, belajar, atau mengemudi.

Meskipun musik masih ada di mana-mana, kita tidak lagi menganggapnya sebagai hiburan primer. Kita lebih suka mendengarnya sebagai pengiring video pendek di media sosial yang lebih menarik. Padahal, dahulu setelah membeli kaset atau CD album musisi favorit, orang akan meluangkan waktu untuk benar-benar mendengarkan lagu-lagu itu tanpa distraksi.

Efek Nostalgia dan Kecenderungan Mengingat Musik Terbaik Saja



Faktor psikologis lain yang sering dibahas adalah efek nostalgia. Menurut riset yang dihimpun Sedikides, dkk dalam jurnal Psychology of Music berjudul ‘The psychological benefits of music-evoked nostalgia’, orang memiliki kecenderungan untuk mengingat dan lebih menyukai lagu-lagu yang populer saat mereka remaja. Sekarang coba kita telaah lebih jauh, siapa sebenarnya pelaku romantisasi musik 90—2000-an. Bisa jadi mereka adalah generasi milenial yang sedang beranjak remaja pada dua dekade itu.

Jika kita bertanya pada generasi yang lebih tua, mungkin era emas musik bagi mereka adalah dekade 1980-an. Ini menunjukkan subjektivitas yang bisa diperdebatkan. Kita juga bisa saja terjebak dalam mengingat lagu-lagu terbaik dari era itu dan melupakan fakta bahwa ada beberapa lagu yang gagal atau flopped. Sementara, sekarang kita mendengar semua lagu kekinian tanpa filter dan terburu-buru melakukan generalisasi.

Bagaimana menurut pendapat pribadimu? Apakah kamu salah satu yang percaya kalau era 1990—2000-an adalah dekade terbaik untuk sektor musik?

Baca juga:

Share This Article
Leave a Comment