Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) dan Vibrasi Suara Indonesia (VISI) menyatakan pentingnya adanya perbaikan pada ekosistem hak cipta musik di Tanah Air. Kedua organisasi ini sepakat bahwa digitalisasi menjadi kunci utama dalam menciptakan sistem royalti yang transparan, adil, dan bermanfaat bagi pencipta lagu maupun penampil.
Piyu, gitaris Padi Reborn yang mewakili AKSI, mengungkapkan bahwa sistem yang berjalan saat ini masih terlalu manual dan tidak efisien. Ia menyoroti kebutuhan untuk pembaruan, khususnya dalam mekanisme perizinan atau lisensi untuk pertunjukan musik.
“Selama ini yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN itu masih belum digitalisasi, masih semuanya serba manual. Masih ada proses nagih ke sana, nagih ke sini, bahkan datang langsung ke tempat acara,” ujar Piyu usai rapat dengan Badan Legislasi DPR RI untuk membahas revisi Undang-Undang Hak Cipta.
Piyu menjelaskan bahwa AKSI mengusulkan agar setiap pertunjukan musik wajib memiliki izin lisensi sebelum acara dimulai, yang prosesnya dapat dipermudah melalui platform digital.
“Yang utama adalah kita mengusulkan dengan digitalisasi. Kita ingin agar setiap pertunjukan musik sebelum dimulai harus ada izin dulu, harus ada lisensi dulu. Mekanismenya seperti apa? Itu nanti bisa kita atur di dalam pasal sendiri yang mengatur tentang bagaimana,” tambah Piyu.
Ariel, vokalis NOAH yang mewakili VISI, juga menekankan pentingnya perbaikan pada LMK dan LMKN. Menurut Ariel, pembenahan dua institusi tersebut adalah akar dari penyelesaian masalah royalti yang selama ini berlarut-larut.
“Kita juga punya kesamaan dengan AKSI, kita sama-sama ingin digitalisasi. Terutama dari FSI, dari awal kita bilang bahwa LMK dan LMKN harus diperbaiki secepatnya,” kata Ariel dalam wawancara terpisah.
Ariel mengungkapkan bahwa ia merasa lega karena ada penegasan dari AKSI bahwa tanggung jawab pembayaran royalti pertunjukan (performance rights) berada di tangan penyelenggara acara, bukan penyanyi. Selama ini, banyak penyanyi, bahkan di level legendaris, masih menerima somasi karena membawakan lagu di atas panggung.
“Hari ini kita senang bahwa ada statement langsung dari pihak AKSI yang menyatakan bahwa memang bukan penyanyi yang harus bayar untuk performance rights. Jadi, karena statement itu datang langsung dari AKSI, mudah-mudahan bisa jadi lebih tegas,” ujar Ariel.
Piyu mengonfirmasi hal tersebut, menyatakan bahwa pandangan tersebut sejalan dengan peraturan yang ada, yakni Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025. Namun, ia menambahkan, permasalahan bisa terjadi jika penyelenggara acara tidak bertanggung jawab. Hal itu, menurutnya, menjadi celah bagi pencipta lagu untuk menagih haknya.
“Kita sepakat, memang dari dulu seperti itu, tapi ketika terjadi ketidaktransparanan dan tidak ada distribusi dari penyelenggara kepada LMK, masa pencipta enggak boleh nagih? Itu intinya begitu,” jelas Piyu.
Masa Transisi dan Harapan pada LMKN Baru
Industri musik saat ini sedang dalam masa transisi di bawah moratorium yang ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Ari Bias dari AKSI menjelaskan bahwa LMK-LMK yang ada sedang dalam proses penertiban dan pembersihan, dengan data yang disentralisasi di bawah LMKN.
Ari mengungkapkan harapan besar pada kinerja LMKN baru yang disebut tengah menyiapkan platform digital untuk memfasilitasi proses lisensi dan pembayaran royalti secara terpusat.
“Dan kelihatannya LMKN juga sudah menyiapkan platform digital untuk pendaftaran dari izin lisensi dan pembayaran royalti dari pertunjukan musik itu,” ucap Ari Bias.
“Akan kita lihat hasilnya seperti apa. Saya juga lagi memantau apakah kinerjanya akan bekerja dengan baik atau tidak,” tambah Ari Bias.
