DJKI Ingatkan Bahaya Mutilasi atau Parodikan Film Sembarangan

goodside
4 Min Read

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) mengajak masyarakat untuk lebih memahami bahwa film adalah karya yang terdiri dari berbagai elemen yang dilindungi oleh hukum. Dalam sebuah acara yang diadakan pada 14 November 2025, DJKI bersama sutradara dan komika Ernest Prakasa menyoroti tren pemotongan dan pemanfaatan ulang film di media sosial, yang dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak cipta.

Film sebagai Bundle of Rights

Menurut Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, film mencakup berbagai jenis ciptaan seperti naskah, musik, penyutradaraan, hingga penampilan aktor. Setiap elemen tersebut memiliki perlindungan hukum yang jelas. Ia menegaskan bahwa bahkan untuk mengedit film saja, izin dari sutradara diperlukan karena setiap bagian merupakan ekspresi kreatif yang memiliki nilai hukum.

“Sekarang lagi tren di TikTok dipotong-potong jadi berapa bagian. Itu sudah mutilasi karya cipta dan melanggar hak moral,” ujarnya dalam sesi diskusi What’sUp Podcast Kementerian Hukum RI Bangun Ekosistem Film yang Adil.

Dampak Pemotongan Film pada Ekosistem Produksi

Fenomena clipper, yaitu pengguna media sosial yang membuat potongan film viral tanpa izin, juga menjadi perhatian serius. Dari perspektif kreator, Ernest Prakasa menilai bahwa pemotongan film tidak hanya merugikan sutradara, tetapi juga ekosistem produksi. Oleh sebab itu, ia mendorong para penonton film untuk dapat menghargai pembuatan film dengan menonton di platform legal.

“Ketika film dicacah jadi 30 klip, yang rugi bukan cuma kreator, tapi juga platform streaming yang sudah membayar mahal. Tapi platform itu canggih banget algoritmanya. Mereka bisa tahu mana bajakan. Kalau harus diaduin satu-satu, saya capek, Bapak capek,” ungkapnya.

Parodi Tanpa Izin dan Nilai Komersial

Tidak hanya clipper, pengguna media sosial juga sering menampilkan parodi film tanpa izin. Seringkali, parodi tersebut viral dan mendatangkan keuntungan ekonomi meski awalnya hanya bersifat hiburan. Menjawab hal tersebut, Agung menegaskan bahwa dalam konteks digital, keuntungan tidak selalu berupa uang langsung. Bisa berupa views, endorsement, dan eksposur yang dapat menjadi nilai komersial.

“Remix potongan film jadi parodi itu cikal bakal pelanggaran hak cipta. Hak moralnya hilang, karya dipotong tanpa izin. Tidak boleh tanpa izin,” ungkapnya.

Media Sosial sebagai Strategi Pemasaran Film

Meski menghadapi tantangan pembajakan digital, Ernest mengakui bahwa media sosial tetap tidak bisa dilepaskan dari strategi pemasaran film. Ia menyampaikan bahwa di tengah arus tren yang berubah cepat, kreator perlu memahami mekanisme promosi dan distribusi konten tanpa mengorbankan hak cipta.

“Suka tidak suka, peperangannya di TikTok. Mau tidak mau kita harus tahu cara kerjanya karena orang sekarang udah pintar-pintar. Mereka tahu kok kalau kita pakai buzzer dan segala macamnya,” ujar Ernest.

Ajakan untuk Menghargai Hak Cipta

Oleh karena itu, DJKI mengimbau kreator media sosial dan penonton film agar tidak sembarangan memotong, menggunakan ulang, atau memparodikan film tanpa izin. Yang tak kalah penting adalah menonton film melalui bioskop atau platform legal. Ini merupakan langkah sederhana yang paling penting dalam melindungi hak cipta dan memastikan kreator mendapatkan hak ekonominya secara adil.

Membangun Ekosistem Film yang Sehat

Dengan meningkatnya literasi hak cipta serta kerja sama antara kreator, penonton, platform digital, dan pemerintah, Indonesia dapat membangun ekosistem film yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Pelindungan kekayaan intelektual bukan sekadar kepatuhan hukum, melainkan bentuk penghargaan terhadap proses kreatif yang panjang dan penuh dedikasi.

Share This Article
Leave a Comment