Film Chaplin yang dirilis pada tahun 1992 dan disutradarai oleh Richard Attenborough adalah karya yang menggambarkan perjalanan hidup seorang legenda perfilman, Charlie Chaplin. Dengan penampilan luar biasa dari Robert Downey Jr., film ini tidak hanya menjadi biografi, tetapi juga sebuah penghormatan terhadap seniman yang memperkuat wajah dunia perfilman abad ke-20.
Charlie Chaplin lahir di London pada 16 April 1889. Keadaan keluarganya sangat sulit sejak awal. Ayahnya meninggal di usia muda, sementara ibunya mengalami gangguan mental. Hal ini menyebabkan Charlie harus mengandalkan dirinya sendiri bahkan sebelum berusia sepuluh tahun. Masa kecil yang pahit ini membentuk karakter tangguh yang akhirnya dikenal sebagai “The Tramp.”
Karier panggung Chaplin dimulai sejak usia delapan tahun sebagai penari tap bersama grup The Eight Lancashire Lads. Ia kemudian bergabung dengan rombongan Fred Karno dan tampil dalam pertunjukan A Night in an English Music Hall. Pertunjukan ini membawanya ke Amerika Serikat pada 1910. Di sanalah ia menarik perhatian produser film dan memulai debut layar lebarnya bersama Keystone Film Company pada 1913.
Karakter “The Tramp” pertama kali muncul dalam film Kid Auto Races at Venice (1914). Dengan jas sempit, celana kebesaran, sepatu besar, dan tongkat, karakter ini menjadi simbol universal tentang harapan, ketabahan, dan kritik sosial. Penonton menyukai keberaniannya, sikapnya yang menentang kesombongan, dan ketangguhannya menghadapi kesulitan.
Film Chaplin menggambarkan perjalanan karier dan kehidupan pribadi sang maestro, termasuk kontroversi yang mengiringinya. Dari pernikahan dengan wanita muda, tuduhan simpati terhadap komunisme, hingga pengasingannya dari Amerika Serikat pada 1952. Namun, film ini juga menyoroti sisi kemanusiaan Chaplin, terutama saat ia menerima Oscar kehormatan pada 1972 setelah dua dekade diasingkan.
Robert Downey Jr. menuai pujian luas atas perannya. “Downey terlihat seperti Chaplin, bergerak seperti Chaplin, dan benar-benar menangkap esensi sang komedian,” tulis ulasan di IMDb. Ia bahkan dinominasikan untuk Academy Award berkat penampilannya yang memukau. Meski begitu, film ini juga menuai kritik. Beberapa pengulas menilai narasinya terlalu padat dan terlalu banyak melompat dari satu fase ke fase lain.
“Film ini terasa seperti rangkuman cepat yang melewatkan kedalaman,” tulis seorang kritikus di IMDb. Meski begitu, kekuatan visual dan musik garapan John Barry tetap menjadi nilai tambah.
Chaplin dikenal sebagai seniman serba bisa. Ia tidak hanya berakting, tapi juga menulis, menyutradarai, memproduksi, dan menggubah musik untuk film-filmnya. Karya-karya seperti The Kid (1921), City Lights (1931), Modern Times (1936), dan The Great Dictator (1940) menjadi tonggak penting dalam sejarah sinema dunia.
Chaplin mengajak penonton untuk memahami bahwa di balik tawa yang ia ciptakan, ada luka dan perjuangan yang mendalam. Film ini bukan hanya tentang seorang komedian, tapi tentang manusia yang menggunakan seni sebagai cara bertahan hidup dan menyuarakan keadilan.
Kini, lebih dari tiga dekade sejak film Chaplin dirilis, kisah hidup sang legenda tetap relevan. Ia mengajarkan bahwa seni bisa menjadi jembatan antara penderitaan dan harapan, sebuah pelajaran yang tak lekang oleh waktu.
