Film The Running Man yang dirilis pada tahun 2025 menandai perubahan besar dalam kariernya. Nama Glen Powell kembali mencuat, dan dunia hiburan bersiap menyambut babak baru. Seorang aktor muncul, berdiri paling depan, seolah melompat dari kegelapan menuju cahaya. Ia berlari, baik secara harfiah maupun metaforis, membawa energi yang sulit untuk dihentikan.
Glen Powell muncul seperti pelari yang telah lama memendam napasnya. Setelah gelombang besar dari film Top Gun: Maverick, ia akhirnya sampai ke titik di mana ia harus menjadi pusat perhatian. Momen ini datang dengan suara riuh layar lebar, penuh letupan dan kejutan. Sosok yang dulu dikenal sebagai protege Tom Cruise kini melangkah tanpa bayang-bayang apa pun. Di film baru ini, ia mengambil alih kendali, mengubah amarah menjadi magnet yang membuat penonton tak bisa memalingkan wajah.
Dari situ, cerita mulai bergeser. Bukan sekadar aksi atau pelarian, tetapi perjalanan seseorang menghadapi permainan kejam yang lebih mirip dengan cermin dunia hiburan itu sendiri.
Karakter yang Meledak
Dalam buku karya Stephen King, tokoh Richards digambarkan penuh bara. Di layar, Powell mengubah bara itu menjadi energi yang menular. Ketika ia marah, alih-alih menjauh, penonton justru merasa ingin terus mengikuti langkahnya. Ia tampil sebagai pahlawan yang tak sempurna, seseorang yang tampak rapuh, tapi selalu mencoba bangkit. Sisi underdog inilah yang membuat penonton terpikat.
Hal ini tentu berbeda dengan versi 1987 yang mengandalkan sosok perkasa Arnold Schwarzenegger. Kelebihan Powell bukan hanya ototnya, tetapi bagaimana ia membuat kekacauan terlihat manusiawi.
Humor yang Muncul di Tengah Kekacauan
Yang menarik, Powell tetap membawa sisi jenakanya. Gaya pengarahan Edgar Wright menambah bumbu: gerakan kamera cepat, ritme cerita lincah, dan dialog yang mengalir seperti percakapan sehari-hari. Meski Wright kali ini menurunkan sedikit gaya flamboyannya, sentuhannya tetap terasa. Ada momen ketika senyum kecil muncul bahkan di tengah kekacauan terbesar. Dan Powell mengeksekusinya dengan sangat pas.
Wajah-Wajah dalam Permainan
Produser dan pembawa acara yang mencuri perhatian adalah Josh Brolin yang tampil sebagai produser yang selalu tersenyum, senyum yang entah menghibur atau mengancam. Sementara Colman Domingo memandu jalannya permainan sebagai host The Running Man dengan karisma yang sulit dibantah. Melalui keduanya, penonton merasa seolah peluang Powell untuk menang selalu ditekan hingga batas paling tipis. Michael Cera ikut menambah warna.
Pertemuan kembali dengan sutradara lamanya membuatnya tampil sangat “nyambung” dengan nada film. Meski bukan pusat cerita, kehadirannya cukup membuat suasana tetap bergerak cepat.
Ketika Dunia Dystopia Kehilangan Giginya
Kritik sosial yang terasa kurang menggigit menjadi salah satu aspek film ini. Film versi 1987 dikenal karena kritiknya pada budaya tontonan brutal. Adaptasi terbaru ini (The Running Man 2025) menggeser targetnya ke dunia reality show, termasuk serial ala keluarga selebritas yang menguasai layar. Namun cerita bergerak begitu cepat hingga kritik itu terasa seperti sekilas angin. Ada pesan, tapi tidak sempat mengendap.
Arah Cerita yang Tiba-tiba Berubah
Di bagian akhir, film mencoba kembali pada bobot emosional khas King. Perubahan nada ini membuat beberapa karakter, terutama yang diperankan Emilia Jones, tampak kesulitan menyesuaikan langkah. Untungnya, film ini tidak terjun sepenuhnya ke arah kelam, sehingga penonton tetap bisa menikmati gelombang aksi yang dibangun sejak awal. Pada akhirnya, The Running Man tetap menjadi tontonan yang memacu adrenalin.
Meski ada bagian yang terasa kehilangan ketajaman, perjalanan dari halaman buku menuju layar tetap penuh kejutan. Dan ketika layar meredup, gema langkah panjang sang pelari masih tertinggal di kepala.
