Pengalaman seorang perempuan setelah melahirkan anak sering kali diibaratkan seperti undian lotre yang hasilnya sulit diprediksi. Bagi sebagian, hasil undian itu membawa kebahagiaan murni dan lembaran hidup baru bersama pasangan. Namun, bagi sebagian lainnya, undian tersebut bisa berarti ketakutan yang merayap perlahan dan mulai menguasai seluruh pikirannya.
Film Die, My Love (2025), karya terbaru dari sutradara visioner Lynne Ramsay, adalah potret menawan dari sisi tergelap fase pascapersalinan tersebut, mengikuti jejak karyanya yang mencekam, You Were Never Really Here (2017). Film ini menyoroti kehidupan Grace (diperankan Jennifer Lawrence) dan Jackson (Robert Pattinson), pasangan muda yang baru pindah ke pedesaan Montana. Awalnya, romansa mereka tampak autentik dan manis. Segalanya berubah drastis setelah kelahiran bayi mereka.
Ramsay memilih untuk tidak membangun kisah ini melalui narasi besar yang konvensional, tetapi lewat gejolak emosi yang intens dan kehancuran mental yang terasa sangat membumi. Berikut adalah analisis mendalam mengenai film Die, My Love.
Kebrutalan Akting J-Law: Melampaui Batas Kewarasan
Jennifer Lawrence menampilkan salah satu kinerja akting paling hebat sepanjang kariernya, bahkan disebut menyamai perannya yang ikonik dalam film Mother! (2017). Ia memerankan Grace sebagai sosok yang terperangkap antara tuntutan kewajiban sebagai ibu dan hilangnya jati diri sebagai seorang perempuan.
Secara historis, karakter perempuan pirang yang sulit ditaklukkan di layar lebar identik dengan Amy Dunne di Gone Girl (2014) atau Mabel Longhetti dari A Woman Under the Influence (1974). Grace yang diperankan J-Law seolah membuka jalur di tengah-tengah kedua karakter gelap tersebut, seperti seekor singa betina yang dipaksa menjadi kucing rumahan yang patuh.
Dalam setiap bingkai, Lawrence bergerak layaknya binatang liar yang terluka. Ia tampil penuh gairah, kemarahan, dan keputusasaan yang meluap-luap. Sinematografi 35mm yang sensual dan sensorik memperkuat ketegangan psikologis ini, di mana keringat, darah, dan debu menjadi simbol kelelahan emosional Grace.
Tak hanya J-Law, Robert Pattinson pun tampil solid sebagai Jackson. Jackson adalah suami yang kesabaran dan kasih sayangnya terkikis oleh tekanan rumah tangga. Alih-alih memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan Grace, kehadirannya justru memperparah perasaan terisolasi yang dialami sang istri. Kimia antara Lawrence dan Pattinson dalam film ini tidak hanya intens, namun terasa menyakitkan untuk disaksikan.
Potret Keibuan yang Menjebak dan Kontradiktif
Berdasarkan novel karya Ariana Harwicz, Ramsay berkolaborasi dengan Enda Walsh dan Alice Birch untuk menyusun naskah yang benar-benar menelanjangi sisi emosional seorang ibu. Die, My Love tidak memandang fase keibuan sebagai sebuah kutukan biologis atau horor yang harus dihindari. Sebaliknya, film ini menyajikannya sebagai pengalaman yang kompleks penuh kontradiksi: ada cinta, kebencian, kelembutan, amarah, serta kehidupan dan kematian yang bergulir bersamaan.
Grace berulang kali menerima “nasihat manis” dari orang-orang di sekitarnya. Mereka memintanya untuk menjaga diri, bersyukur, atau agar “tidak terlalu keras pada diri sendiri.” Namun, semua kalimat empati yang kosong tersebut justru terasa seperti membangun tembok isolasi baru yang semakin tinggi bagi Grace. Melalui lensa sinematik Ramsay, kita melihat Grace tidak hanya berjuang melawan depresi pascapersalinan, tetapi juga psikosis yang merusak koneksi dirinya dengan realitas.
Struktur yang Berantakan: Kelemahan atau Seni?
Jika ada satu kelemahan yang dapat disorot dari Die, My Love, itu terletak pada struktur naratifnya yang kacau dan tempo yang tidak konsisten. Gaya penceritaan Ramsay sering melompat-lompat secara drastis, dari nol ke seratus dalam sekejap. Pendekatan ini secara efektif meniru pola pikir Grace yang semakin tidak stabil.
Meskipun berhasil menciptakan ketegangan psikologis yang mencekam, alur non-linear ini membuat penonton mudah merasa lelah dan terkadang bingung kehilangan arah cerita. Akhir film pun terasa sangat membingungkan. Daripada memberikan penutupan yang pasti, Ramsay justru membiarkan audiens tenggelam dalam ambiguitas yang dalam. Ini adalah cara Ramsay menolak resolusi yang nyaman, menolak untuk “menyembuhkan” Grace hanya demi kepuasan penonton.
Verdict: Film Psikologis Paling Menggugah Tahun Ini
Secara keseluruhan, Die, My Love adalah tontonan yang kuat secara emosional dan visual. Namun, film ini menuntut kesabaran besar dari audiensnya. Bagi penonton yang mencari film psikologis mendalam dengan performa akting utama yang luar biasa, karya ini wajib masuk daftar tonton.
Jennifer Lawrence membuktikan statusnya sebagai salah satu aktris terbaik saat ini melalui penampilan yang mentah dan tanpa filter. Di tangan Lynne Ramsay, ini bukan hanya kisah tentang depresi postpartum, melainkan refleksi tentang cinta dan batas tipis antara kewarasan dan kegilaan. Die, My Love mungkin bukan untuk semua orang, namun bagi yang siap menyelam ke kegelapan batin manusia, film ini adalah pengalaman sinematik yang menghantui dan tak terlupakan.
