Thailand dikenal sebagai surga kuliner Asia Tenggara, dengan hidangan seperti pad thai dan tom yum yang mendunia. Namun di balik kelezatan tersebut, tersimpan ragam makanan ekstrem dan tradisional yang menantang lidah serta memperlihatkan kekayaan budaya setempat. Di beberapa daerah seperti Isan dan Bangkok, kuliner bukan hanya soal rasa, tetapi juga identitas, tradisi, dan bahkan keberanian untuk mencoba hal baru.
Di wilayah Isan, bagian timur laut Thailand, terdapat praktik unik dalam penggunaan bahan makanan liar. Masyarakat setempat telah lama mengumpulkan telur semut merah atau kai mot daeng sebagai bagian dari diet mereka. Chef lokal seperti Num Triyasenawat dari restoran Samuay & Sons memanfaatkan bahan-bahan ini untuk diolah menjadi sajian fine dining. Ia menyebut praktik ini sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan lokal yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat urban Bangkok.
Praktik Foraging dan Fermentasi
Lebih lanjut, masyarakat Isan telah mempraktikkan foraging atau pencarian bahan makanan dari alam liar selama berabad-abad. Musim panen telur semut merah biasanya terjadi antara Maret hingga Mei, ketika masyarakat turun ke hutan untuk mengumpulkan bahan yang kaya protein tersebut. Tradisi ini kini kembali dihidupkan oleh generasi muda chef yang ingin menggabungkan nilai tradisional dengan modernitas kuliner.
Selain bahan liar, praktik fermentasi juga menjadi bagian penting dalam kuliner Isan. Proses fermentasi seperti pada saus ikan pla ra telah dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Garam batu yang melimpah di wilayah Korat dan Sakon Nakhon menjadi kunci dalam menciptakan cita rasa khas. Fermentasi bukan sekadar teknik pengawetan, tetapi juga simbol kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Makanan Ekstrim di Kota Bangkok
Sementara itu, di kota Bangkok, makanan ekstrim seperti serangga goreng menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kios-kios di Khao San Road menjual beragam serangga seperti jangkrik, belalang, dan bahkan kalajengking goreng. Bagi masyarakat lokal, camilan ini sudah biasa karena mengandung protein tinggi, namun bagi turis, sensasinya lebih ke pengalaman unik yang menantang adrenalin.
Banyak pengunjung mengunggah pengalaman tersebut ke media sosial, menjadikannya semacam ritual wisata ekstrem yang ikonik di Thailand. Meski terlihat aneh bagi sebagian orang, serangga goreng sebenarnya telah menjadi bagian dari kuliner tradisional masyarakat pedesaan sejak lama.
Risiko dan Kesadaran Kesehatan
Namun, tidak semua tradisi kuliner ekstrim di Thailand bebas dari risiko. Pemerintah Thailand sempat mengeluarkan peringatan terhadap wabah “deafness fever” atau demam tuli yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus suis. Penyakit ini dikaitkan dengan kebiasaan mengkonsumsi daging babi mentah dalam hidangan tradisional seperti larb lueat. Pemerintah pun mengimbau masyarakat untuk memastikan daging dimasak sempurna demi menghindari infeksi berbahaya.
Kasus tersebut memperlihatkan bahwa di balik kekayaan kuliner tradisional, ada tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara budaya dan kesehatan publik. Tradisi seperti makan daging mentah memiliki akar spiritual dan sosial yang kuat, tetapi di era modern, praktik tersebut perlu disesuaikan dengan pengetahuan medis dan sanitasi pangan yang lebih baik. Pemerintah Thailand kini gencar melakukan kampanye edukasi melalui kementerian kesehatan dan media nasional.
Inovasi dalam Pelestarian Kuliner
Meskipun begitu, upaya pelestarian kuliner tradisional tetap berjalan seiring inovasi. Chef-chef muda di Thailand berusaha mengubah persepsi masyarakat terhadap makanan ekstrem, dengan memadukan bahan-bahan seperti telur semut, ikan fermentasi, dan serangga dalam presentasi modern yang menggugah selera. Langkah ini tidak hanya menjaga identitas kuliner lokal, tetapi juga menarik perhatian dunia internasional terhadap Thailand sebagai laboratorium gastronomi yang berani bereksperimen.
Makanan Ekstrem sebagai Refleksi Budaya
Pada akhirnya, kuliner ekstrem Thailand adalah refleksi dari perjalanan budaya yang panjang dari warisan leluhur hingga adaptasi global. Baik itu semangkuk sup telur semut merah di Udon Thani, sosis fermentasi Isan, atau sepiring jangkrik goreng di Bangkok, semuanya berbagi satu pesan yang sama, yakni keberanian untuk mencicipi tradisi, menghormati alam, dan merayakan keberagaman rasa.
