“Opera Pasar Malam” Saat Puisi Berubah Jadi Lagu Anak-Anak

goodside
4 Min Read

Alix wahana adalah proses mengalihkan sebuah karya dari satu media ke media lain, misalnya dari karya sastra ke film atau panggung. Alih wahana bukan sekadar adaptasi atau pengalihan bentuk, melainkan sebuah penafsiran ulang yang membuka kemungkinan baru bagi makna karya sastra. Hal ini terlihat dalam pertunjukan yang disajikan oleh Teater Bel bersama Teater Bhamerta (siswa-siswi PKL SMKN 10) Bandung, pada 4 Desember 2025, di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung.

Dengan mengalihwahanakan enam puisi, masing-masing “Pasar Malam” (karya Kirdjo Muljo), “Berilah Aku Kota” (Subagio Sastrowardoyo), “Langit” (Yesmil Anwar), “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana” (KH Ahmad Mustofa Bisri), “Sebuah Gang” (Arifin C. Noer), dan “Mimpi” (Gasfar), maka jadilah sebuah pertunjukan berjudul “Lakon Musikal Dolanan – Opera Pasar Malam”.

Dunia Fantasi dalam Pertunjukan

“Opera Pasar Malam” yang naskahnya ditulis (sekaligus disutradarai) Agus Safari, hadir sebagai bentuk eksplorasi kreatif yang mempertemukan sastra, teater, musik, dan permainan panggung dalam satu pertunjukan utuh. Sutradara bersama para penata—Ferry Florianto (musik), Destie Astuti (olah vokal), Hendra Riady (artistik), Ranna Beben (lighting), dan Bimbim (multimedia)—membangun sebuah pertunjukan teater musikal dolanan yang meriah, energik, dan kaya warna. Pertunjukan ini berhasil menghidupkan suasana pasar malam di satu panggung nan artistik.

Sejak layar dibuka, penonton langsung dibawa ke dunia magis melalui visual bulan purnama raksasa yang menjadi latar panggung. Para pemain bergerak dalam formasi melingkar, membangun atmosfer ritual sederhana khas permainan anak-anak. Gerak tubuh yang cair dan saling menanggapi ini membuka pintu menuju dunia fantasi.

Pada adegan selanjutnya, panggung menjadi arena karnaval. Latar multimedia berupa tenda sirkus dan bendera-bendera warna-warni menghadirkan suasana pasar malam yang hiruk-pikuk, kegembiraan, dan energi pertunjukan. Di sini, kekuatan pementasan tampak pada komposisi blocking yang dinamis, tertata, dan membentuk pose-pose teatrikal.

Unsur yang cukup menonjol dalam pertunjukan, di antaranya juga kostum dan tata rias. Dengan kostum warna-warni bermotif tambal-sulam (patchwork), serta ornamen-ornamen kecil yang unik, para pemain tampil layaknya para badut di dunia karnaval. Demikian pula dengan rias wajah yang ekspresif, sangat mempertegas bahwa mereka —tokoh-tokoh di atas panggung itu—adalah representasi imajinasi rakyat: badut, penjual mainan, atau makhluk-makhluk fantasi dari dunia karnaval dan pasar malam.

Bagian epilog menampilkan dua badut yang membangunkan orang-orang yang sedang tidur. Adegan ini memberi isyarat bahwa pertunjukan sebelumnya seolah mimpi para pemain: mimpi tentang pentas, tentang puisi, tentang proses berkesenian. Mereka dihadapkan kembali pada kenyataan untuk menjalani gladi resik, persiapan pertunjukan yang sesungguhnya. Secara keseluruhan, pementasan ini memancarkan energi kegembiraan, folklor, dan fantasi dunia pasar malam yang penuh warna.

Pendidikan Sastra dalam Pertunjukan

“Lakon Musikal Dolanan – Opera Pasar Malam” ini merupakan episode kedua dari gelar sastra sebelumnya, “Aku Ini Binatang Jalang” Episode #1. Jika pada episode ke-2 alih wahana lebih memperkuat unsur dramatik dan musikal, dengan sastra sebagai pusat gravitasi artistiknya, maka pada episode sebelumnya lebih menekankan kolaborasi puisi dengan musik, drawing, dan ilusi panggung.

Kehadiran siswa-siswi SMKN 10 Bandung yang sedang melakukan PKL di Klinik Teater Bel Bandung memberi warna lain, bahwa pertunjukan ini bukan sekadar “pameran seni”, tetapi juga sebagai “arena pendidikan”. Melalui alih wahana seperti ini, para penggarap –terutama penulis naskah sekaligus sutradara—seolah ingin menunjukkan bahwa sastra tidak harus diposisikan sebagai sesuatu yang asing dan sulit dijangkau.

Share This Article
Leave a Comment