Titi Radjo Padmaja Bawa Musik Jungga dalam Film Perdananya, Swaradwipa

goodside
4 Min Read

Film dokumenter Swaradwipa, karya pertama dari musisi dan aktris Titi Radjo Padmaja, diputar perdana dalam perhelatan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-20 di Yogyakarta, Sabtu 6 Desember 2025. Film ini menghadirkan kisah tentang Jungga, alat musik tradisional masyarakat Sumba yang memiliki kesamaan dengan kentrung atau instrumen petik sederhana seperti ukulele.

Titi menjelaskan bahwa awalnya ia hanya ingin melakukan riset terkait Jungga yang hampir punah karena musiknya dianggap sakral dan religius. Namun, selama proses penelitian tersebut, ia justru menemukan potret kehidupan masyarakat Sumba yang masih banyak tidak diketahui oleh publik.

Swaradwipa Bukan Hanya Dokumentasi Musikal

Selama tujuh tahun melakukan riset, film Swaradwipa tidak hanya menjadi dokumentasi musikal, tetapi juga merekam identitas sebuah bangsa kepulauan yang berusaha bertahan di tengah arus modernitas. Film ini mengangkat kisah hidup para pemain alat musik tradisional Jungga yang semakin langka.

Tokoh-tokoh seperti Ata Ratu, Rambu Ester, Pura Tanya, dan Haing menjadi bagian dari cerita yang disampaikan dalam film ini. Dari pengamatan mendalam terhadap para pemain, Titi menyadari bahwa alat musik ini sudah sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumba.

Dengan iringan denting senar Jungga yang menjadi latar suara sepanjang film, benturan antara nilai lama dan baru dalam perjalanan para pemain alat musik itu dibeberkan melalui penuturan para tokoh. Film ini juga mengajak penonton merambah ruang-ruang privat di rumah mereka, tempat peribadatan, hingga ladang-ladang tempat tradisi masih berdenyut.

Jungga dalam Kehidupan Sehari-hari

Jungga tampak senantiasa mengiringi kehidupan sehari-hari warga Sumba. Mulai dari saat mereka bekerja di kebun, ketika merasa kesepian hingga digunakan untuk menarik perhatian pasangan. “Pemain Jungga ini ternyata seperti para rock star di sana,” kata Titi.

Pengambilan gambar dilakukan di berbagai wilayah Sumba, khususnya Sumba Timur dan Waingapu, mengikuti keseharian para tokoh lintas generasi dan keyakinan. Proses ini memungkinkan Titi, yang juga berperan sebagai penata musik dan produser bersama Nurman Hakim, untuk benar-benar mengamati manusia apa adanya tanpa tuntutan akting.

Keterikatan Emosional dengan Sumba

Pengalaman ini diperkaya oleh keterikatan emosional Titi terhadap Sumba sejak 2008, yang mendorongnya untuk mendokumentasikan suara-suara penting yang nyaris terlupakan. Melalui film ini, penonton diajak melihat bagaimana warisan budaya dipertahankan oleh sebagian kecil orang, meski perlahan mulai ditinggalkan oleh generasi baru.

Keberhasilan film ini sudah terbukti dengan raihan Piala Citra untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik 2025. Titi menjelaskan alasannya memilih JAFF 2025 sebagai titik awal penayangan film ini. “JAFF dikenal sebagai rumah film-film dokumenter dan kisah-kisah yang berangkat dari budaya lokal, yang memberikan panggung bagi suara-suara yang sering tidak terdengar, terutama dari wilayah Indonesia Timur,” katanya.

Masa Depan Swaradwipa

Setelah sukses memukau penonton di Yogyakarta, Swaradwipa dijadwalkan untuk berkeliling ke berbagai festival film nasional maupun internasional. Film ini, kata Titi, diharapkan tidak hanya menjadi catatan sejarah musik, tetapi juga meninggalkan rasa hangat dan penghargaan yang lebih dalam terhadap suara-suara kecil yang ikut membentuk keberagaman identitas bangsa Indonesia di antara sunyi dan jagat Sumba.

 

Share This Article
Leave a Comment