Penjaga Tradisi Musik Wayang Sasak di Tengah Arus Industri

goodside
7 Min Read

Kegelisahan inilah yang menggerakkan Amru meneliti nada musik Wayang Sasak agar dapat diwariskan lintas generasi. Di ruang Sanggar Tari di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (13/12/2025), suara suling nyaring mendengung memenuhi ruangan. Alunannya mengalir lantang, seolah memanggil ingatan pada akar tradisi yang perlahan tergerus zaman.

Dengan jari tangannya keriput berurat, Amaq Su dengan lincah memainkan suling wayang Sasak yang panjangnya sekitar 70 sentimeter. Ia mengiringi tembang dari Dalang Wayang Sasak, Safwan, dalam acara Sangkep bertajuk “Memetakan Nada Nada Musik Wayang Sasak dengan Sistem Pelarasan Microtones”. Amaq Su merupakan salah satu sekehe (personel) pemain musik Wayang Sasak Lombok yang telah sepuh dan puluhan tahun setia berada di balik layar pertunjukan.

Siang itu terasa berbeda bagi Amaq Su. Ia tampak sedikit kaku saat mencoba memadukan suara suling tradisionalnya dengan petikan gitar modern yang dimainkan Adya Amru Hidayat, peneliti musik yang tengah mempresentasikan risetnya. Perpaduan bunyi antara suling Wayang Sasak dan gitar modern itu sempat terdengar asing di awal. Namun perlahan, keduanya menemukan jalan yang selaras, seolah saling mencari dan akhirnya bertemu.

“Pengalaman yang berbeda main suling Wayang Sasak dengan dijelaskan tangga nada,” ujar Amaq Su, mengenakan capuk, ikat kepala khas Lombok. Selama ini, pria paruh baya itu mengaku bermain musik hanya mengandalkan rasa dan pendengaran, mengikuti isyarat dari pemain lain tanpa pernah mengenal sistem nada secara tertulis.

“Biasanya cuma dengar, lalu mengisi (filling). Semoga dengan ada anak-anak yang belajar musik ini, musik Wayang Sasak bisa lebih cepat dipahami,” katanya penuh harap.

Generasi Musik Tradisional Kian Berkurang

Generasi pemain instrumen Wayang Sasak kian menyusut. Selain sulitnya mencari nada yang baku, musik Wayang Sasak hingga kini belum memiliki pakem tertulis yang bisa dipelajari secara bersama. Di sisi lain, generasi muda terus disuguhi musik industri modern yang semakin menjauhkan mereka dari tradisi.

Kegelisahan inilah yang menggerakkan Amru meneliti nada musik Wayang Sasak agar dapat diwariskan lintas generasi. “Anak-anak muda sekarang itu sudah terdistorsi sama alat musik barat,” ujarnya. Ia khawatir, sebelum pengetahuan itu sempat diwariskan, para maestro tradisi lebih dulu pergi.

“Kita enggak punya jejak. Takutnya 30 tahun ke depan, saya cuma bisa cerita ke anak-cucu kalau dulu ada musik ini, tapi tidak bisa disuarakan lagi. Rasa-rasa itu, tradisi lisan itu, hilang,” katanya.

Dalam presentasinya, Amru memaparkan microtones dalam meneliti musik Wayang Sasak. Microtones merupakan nada-nada yang berada di antara nada-nada standar dengan interval yang lebih kecil dari semitone (setengah nada). Musik mikrotonal biasanya menciptakan warna musik dan ekspresi yang berbeda, umumnya dalam musik seperti gamelan Jawa atau musik India.

Amru juga memaparkan pitch atau tinggi-rendah nada musik Wayang Sasak secara hitungan akademis di hadapan para musisi tradisional dan modern. “Lebih pada Pitch-nya tapi di sini tidak saklek. Bukan berarti pemain harus persis di satu titik nada,” jelasnya. Ia menyebut pendekatan ini ibarat membuat “penggaris” agar musisi memiliki acuan dalam memainkan jarak nada (interval).

Upaya Pembenahan dan Kolaborasi

Kepala Sekolah, Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS), Safwan, mengapresiasi langkah Amru yang meneliti musik Wayang Sasak agar dapat dibukukan dan menjadi referensi bagi generasi mendatang. “Ini masih berproses, belum tuntas. Kita belum mengambil kesimpulan. Semoga tangga nada yang dijelaskan tadi bisa menjadi acuan bersama memainkan musik Sasak,” kata Safwan.

Ia mengakui, selama ini pemain musik Wayang Sasak belajar secara turun-temurun di sanggar tanpa buku panduan baku. “Belum ada. Masih kita tanamkan kepada mereka yang bertalenta saja,” ujarnya. Safwan menilai riset Amru sebagai langkah awal untuk membumikan Wayang Sasak. Meski penelitian baru mengambil sampel nada dari instrumen suling, ia menegaskan Wayang Sasak memiliki perangkat musik yang jauh lebih kompleks.

Instrumen pada musik Wayang Sasak meliputi gong, gendang, lanang, wadon, knot, kajar, dan rincik. Semua instrumen harus dicari tangga nadanya agar dapat menampilkan orkestra yang baik. Ia juga mencatat perkembangan seni Wayang Sasak masih berjalan stagnan. Pada 2022, jumlah dalang Wayang Sasak di Pulau Lombok tercatat 46 orang, namun hanya belasan yang masih aktif.

Pendiri SPWS, Fitri Rachmawati, mengungkapkan riset Amru sejatinya telah berjalan selama lima tahun dan semakin intens dua tahun terakhir melalui kerja kolaboratif bersama SPWS. Salah satunya dalam pertunjukan teater kolaborasi Wayang Sasak berjudul “Pertale Gumi atau Bumi Dalam Lipatan”. “Dari sana Amru menyampaikan kegelisahannya, ingin menemukan nada-nada musik Wayang Sasak dalam hitungan yang pasti, dengan ilmu fisika dan matematika yang ia kuasai,” ujar Fitri.

Menurutnya, upaya Amru merupakan langkah maju untuk menegaskan bahwa musik Wayang Sasak adalah musik otentik milik masyarakat Sasak Lombok. “Bukan milik Bali, bukan juga Jawa,” tegasnya. SPWS, kata Fitri, memfasilitasi diskusi dan presentasi awal riset Amru secara swadaya. Hasil penelitian itu dinilai penting untuk memperkuat Wayang Sasak sebagai Warisan Budaya Takbenda yang memiliki warna musik khas, berbeda dari Wayang Bali maupun Wayang Jawa.

“Selain itu, Amru adalah bagian dari SPWS, dan yang paling membanggakan, dia putra asli Sasak,” katanya.

Langkah Pemerintah Daerah

Di tengah upaya pelestarian yang digerakkan dari akar rumput, angin segar juga datang dari pemerintah daerah. Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, menyampaikan komitmennya untuk mengembangkan kebudayaan dengan membentuk Dinas Kebudayaan tersendiri pada 2026. “Salah satunya, tahun depan mulai Januari akan ada Dinas Kebudayaan secara terpisah, khusus memikirkan dan mengembangkan kebudayaan yang beraneka ragam,” kata Iqbal, Rabu (10/12/2025).

Menurutnya, pembentukan dinas ini menjadi wujud pengarusutamaan budaya dalam kebijakan pemerintah daerah. “Budaya bukan hanya dalam arti tradisi, tetapi budaya tidak bisa dipisahkan dari semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,” ujarnya.

Di ruang sanggar itu, diskusi ditutup dengan denting suling Amaq Su yang berpadu dengan petikan gitar Amru seakan menjadi simbol kecil dari harapan besar bahwa musik Wayang Sasak tak sekadar bertahan, tetapi menemukan kembali jalannya di tengah kemajuan musik digital modern.

Share This Article
Leave a Comment