Potensi Pelanggaran Hak Cipta, DJKI Ingatkan Hati-Hati Mutilasi atau Parodi Film

goodside
3 Min Read

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menyampaikan perhatian serius terhadap maraknya praktik pemotongan dan pemanfaatan ulang film di media sosial. Dalam acara What’sUp Podcast Kementerian Hukum RI yang bertajuk “Bangun Ekosistem Film yang Adil”, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, menegaskan bahwa film adalah karya yang terdiri dari berbagai elemen yang dilindungi hukum.

Film sebagai Bundle of Rights

Agung menjelaskan bahwa film bukan sekadar tayangan yang bisa dipotong-potong atau dimodifikasi tanpa izin. Ia menggambarkan film sebagai bundle of rights, yang mencakup naskah, musik, penyutradaraan, dan penampilan aktor. Setiap elemen tersebut memiliki nilai hukum dan harus dilindungi.

“Sekarang lagi tren di TikTok dipotong-potong jadi berapa bagian. Itu sudah mutilasi karya cipta dan melanggar hak moral,” ujarnya.

Tantangan dari Parodi dan Clipper

Selain itu, Agung juga mengingatkan tentang penggunaan parodi film tanpa izin. Fenomena ini sering kali viral dan memberikan keuntungan ekonomi, meski awalnya hanya untuk hiburan. Menurutnya, keuntungan tidak selalu berupa uang langsung, tetapi bisa berupa views, endorsement, dan eksposur yang menjadi nilai komersial.

“Remix potongan film jadi parodi itu cikal bakal pelanggaran hak cipta. Hak moralnya hilang, karya dipotong tanpa izin. Tidak boleh tanpa izin,” tambahnya.

Perspektif Kreator: Ernest Prakasa

Dari sudut pandang kreator, Ernest Prakasa mengkritik fenomena clipper yang membuat potongan film viral tanpa izin. Ia menilai hal ini tidak hanya merugikan sutradara, tetapi juga ekosistem produksi film secara keseluruhan. Oleh karena itu, ia mendorong para penonton untuk menonton film melalui platform legal.

“Ketika film dicacah jadi 30 klip, yang rugi bukan cuma kreator, tapi juga platform streaming yang sudah membayar mahal. Tapi platform itu canggih banget algoritmanya. Mereka bisa tahu mana bajakan. Kalau harus diaduin satu-satu, saya capek, Bapak capek,” ujar Ernest.

Meskipun menghadapi tantangan pembajakan digital, Ernest mengakui bahwa media sosial tetap tidak bisa dilepaskan dari strategi pemasaran film. Ia menyampaikan bahwa di tengah arus tren yang berubah cepat, kreator perlu memahami mekanisme promosi dan distribusi konten tanpa mengorbankan hak cipta.

“Suka tidak suka, peperangannya di TikTok. Mau tidak mau kita harus tahu cara kerjanya karena orang sekarang udah pintar-pintar. Mereka tahu kok kalau kita pakai buzzer dan segala macamnya,” ujar Ernest.

Imbauan DJKI untuk Kreatif dan Penonton

Oleh karena itu, DJKI mengimbau kreator media sosial dan penonton film agar tidak sembarangan memotong, menggunakan ulang, atau memparodikan film tanpa izin. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menonton film melalui bioskop atau platform legal. Ini merupakan langkah sederhana yang paling penting dalam melindungi hak cipta dan memastikan kreator mendapatkan hak ekonominya secara adil.

Pentingnya Literasi Hak Cipta

Perlindungan kekayaan intelektual bukan sekadar kepatuhan hukum, melainkan bentuk penghargaan terhadap proses kreatif yang panjang dan penuh dedikasi. Dengan meningkatnya literasi hak cipta serta kerja sama antara kreator, penonton, platform digital, dan pemerintah, Indonesia dapat membangun ekosistem film yang adil, sehat, dan berkelanjutan.

 

Share This Article
Leave a Comment